Kamis, 18 April 2013

Resensi Buku Laskar Pelangi

LASKAR PELANGI
Sepuluh Anak Pemberi Inspirasi


Jenis Film: Drama
Produser: Mira Lesmana
Produksi: Miles Films & Mizan Production
Sutradara: Riri Riza
Pemain:
           Cut Mini
           Ikranagara
           Tora Sudiro
           Slamet Rahardjo
           Mathias Muchus
           Rieke Diah Pitaloka
Penulis skenario:
                       Salman Aristo
                       Riri Riza
                       Mira Lesmana


Kisah tentang tantangan kalangan pinggiran dan perjuangan hidup menggapai mimpi, serta keindahan persahabatan dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia itulah yang diungkap sutradara Riri Riza melalui film Laskar Pelangi (2009).   Film yang diproduseri oleh Mira Lesmana ini berhasil menyedot penonton tak kurang dari 4,6 juta orang di Tanah Air. Fenomena ini menunjukkan kepada kita bahwa apresiasi sastra dan film generasi muda kita, khususnya, dan bangsa Indonesia, umumnya, menuju progres yang lebih baik. Karena semua orang juga tahu bahwa novel Laskar Pelangi dan filmnya diserbu oleh semua golongan umur. Sungguh tidak salah jika novel dan film Laskar Pelangi dijuluki fenomenal karena mampu memberi spirit berjuta manusia di negeri ini. 
Latar Belakang Film
Film Laskar Pelangi diangkat dari novel fenomenal karya Andrea Hirata dengan judul yang sama. Novel ini awalnya didedikasikan untuk guru tercinta, kemudian meledak menjadi best seller dan kini hadir di layar lebar. Novel Laskar Pelangi (2005) adalah bagian pertama dari tetralogi novel Andrea Hirata berdasarkan pengalaman hidupnya. Walau sebuah autobiografi, penggunaan nama-nama fiksional menandakan bagian-bagian dari cerita ini adalah fiksi. Film ini merupakan produksi ke-9 Miles Films dan Mizan Production. Seperti di novelnya, cerita Laskar Pelangi berlatar belakang kehidupan di Pulau Belitong pada pertengahan tahun 1970-an.   
Adegan awal
Film yang berdurasi 125 menit ini dibuka dengan adegan Ikal dewasa (Lukman Sardi) menumpang bus untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Gantong, Pulau Belitung. Sambil menerawang ke luar jendela bus, suara lamunan Ikal membimbing penonton memahami latar belakang sejarah sosial pulau yang pernah kayak arena timah itu. Seusai adegan pembuka itu, lamunan Ikal pun kembali pada hari pertama berangkat ke sekolah. Ia harus menggunakan sepatu perempuan karena orang tuanya tak mampu membelikan sepatu sekolah. Film pun menampilkan gambar kilas balik Belitung era 1974 saat PN Timah masih aktif beroperasi, para karyawan berseragam biru lalu lalang dengan sepeda, dan orang tua mengantar anak-anak mereka ke sekolah. 
Sinopsis
Hari pertama pembukaan kelas baru di SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Bu Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta sembilan orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong. Hal itu karena jika mereka tidak berhasil mengumpulkan sepuluh murid, sekolah akan ditutup. Hari itu, Harun (Jeffry Yanuar), seorang murid istimewa, datang ditemani ibunya. Ia berlari melewati padang rumput menuju ke sekolah yang bangunannya hampir roboh itu untuk menjadi penyelamat masa depan kesembilan murid yang sudah gelisah. Kesepuluh murid yang kemudian diberi nama ”Laskar Pelangi” oleh Bu Muslimah menjalin kisah yang tak terlupakan.
Lima tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke-10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing-masing berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka. Di tengah upaya untuk tetap mempertahankan sekolah, mereka kembali harus menghadapi tantangan yang besar. Pak Harfan meninggal dunia. Musibah itu sempat membuat Bu Mus putus asa dan berhenti mengajar. Namun, menyaksikan murid-muridnya yang begitu tegar dan tetap bersemangat untuk belajar sendiri, Bu Mus pun kembali ke sekolah. Kisah sepuluh sahabat ini berakhir dengan kematian ayah Lintang yang memaksa Einstein cilik itu putus sekolah dengan sangat mengharukan. Lalu, dilanjutkan dengan kejadian dua belas tahun kemudian di mana Ikal yang berjuang di luar Pulau Belitong kembali ke kampungnya. 
Inti Cerita
Inti film Laskar Pelangi adalah harapan untuk anak Indonesia yang paling terpuruk. Kalau anak yang sekolah di SD bobrok di pedalaman bisa sekolah di Paris, tentu saja siapa pun bisa menggapai impian mereka. Selain mengangkat pentingnya pendidikan, film ini juga mengisahkan persahabatan di antara sepuluh murid SD Muhammadiyah, Belitong yang memiliki keunikan masing-masing. 
Keunggulan
Menonton Laskar Pelangi bisa membuat kita tertawa sekaligus menangis. Apalagi akting para pendatang baru yang memerankan Laskar Pelangi tak mengecewakan, mereka sangat natural. Hal itu bisa jadi karena mereka sebelumnya sudah menjalani latihan akting selama tiga bulan. Dari sisi teknis, film ini digarap dengan rapi. Sinematografer Yadi Sugandhi menampilkan gambar-gambar indah dan terkonsep dengan baik. Dari sisi gagasan, film ini menggarap berbagai permasalahan nyata di masyarakat dengan cara yang ringan dan cukup bisa dinikmati. Menariknya, film ini tidak ditulis dengan bahasa baku selayaknya film indonesia biasa, namun masih disuntik peribahasa Indonesia baku untuk accesibility.  Setting yang dibuat oleh Eros Eflin selaku penata artistik untuk film Laskar Pelangi cukup menggambarkan nuansa tahun 70-an. Ditambah dengan syuting yang dilakukan di Belitong sehingga benar-benar tertangkap suasana lokalnya. Secara keseluruhan film Laskar Pelangi patut mendapat acungan jempol. 
Teknis Penyajian
Film ini menggambarkan semangat anak-anak kampung miskin itu belajar dalam segala keterbatasan. Mereka bersekolah tanpa alas kaki, baju tanpa kancing, atap sekolah yang bocor jika hujan, dan papan tulis yang berlubang hingga terpaksa ditambal dengan poster.  Di bagian awal, film ini terlihat memusatkan perhatian pada sosok Ikal. Ikal adalah anak pegawai rendahan PN Timah yang tak mampu sekolah di SD Timah, lalu mendaftar ke SD Muhammadiyah. Kemudian, bermunculan tokoh lain. Ada Lintang, anak super genius didikan alam, yang rumahnya berjarak 40 km dari sekolah dan dilaluinya dengan bersepeda setiap hari tanpa mengeluh. Bahkan ketika suatu hari rantai sepedanya putus, dia rela berjalan kaki menuntun sepedanya ke sekolah. Sementara seorang Mahar, calon seniman dengan gaya yang flamboyan dan radio butut di lehernya adalah sosok yang membuat semua kekakuan jadi cair. Lalu ada Bu Muslimah, perempuan muda yang teguh bercita-cita sebagai guru dan Pak Harfan, Kepala SD Muhammadiyah, yang setia mempertahankan sekolah yang hampir ambruk.  Sedikit romansa terdapat adegan si tokoh utama (Ikal) jatuh cinta ketika melihat tangan perempuan Chinese, A Ling, yang terang benderang. Demi bertemu dengan A Ling, Ikal berupaya segala cara termasuk mencuri kapur milik sekolah agar ia ditugaskan membeli kapur. Juga betapa hancur dunianya ketika A Ling pindah ke Jakarta dengan background benda-benda di toko berjatuhan. Dalam film garapan Riri Riza ini ada satu penambahan tokoh yang tidak ada dalam novel. Tokoh tersebut adalah Pak Mahmud yang diperankan Tora Sudiro. Menurut Riri penambahan karakter itu untuk memperkuat penyampaian pesan fim ini. 
Adegan Dramatis
Adegan dramatis dalam film ini antara lain: pertama, awal-awal saat Pak Harfan melihat arloji di balik tangan ketika sedang menunggu satu anak lagi; kedua, sedihnya Bu Mus ketika Pak Harfan meninggal; ketiga, Lintang mengayuh sepeda onthelnya yang ketinggian melewati padang rumput saat matahari terbit, kemudian perjalanannya dihadang buaya, padahal hari itu ia harus ikut lomba cerdas cermat. Sementara, di tempat lain semua orang sudah panik menunggu dia yang tak kunjung tiba; keempat, ketika Lintang pulang ke rumah dengan piagam juaranya, mendapati ayahnya tak ada. Kemudian, ia menunggu ayahnya dengan berdiri di pinggir pantai sambil memandang laut, namun ayahnya tidak akan pernah pulang lagi; kelima, ketika Lintang mengirim surat kepada Bu Mus yang memberitahukan bahwa ayahnya sudah meninggal dan dia terpaksa berhenti sekolah. Lintang pun datang ke sekolah untuk berpamitan dengan Bu Mus dan teman-temannya, kemudian Ikal mengerjarnya dengan mata berkaca-kaca sambil berteriak, ”Lintaaaaaaaaang!”.
 


  Penghargaan yang Diraih
Mengapa film yang diadaptasi dari novel fenomenal karya Andrea Hirata ini menjadi film box office kebanggaan Indonesia? Pertama, film ini masuk dalam Berlin International Film Festival 2009. kedua, film ini masuk dalam official selection Hong Kong International Film Festival 2009. ketiga, film ini ternyata masuk dalam best film & best editor nomination Asia Film Awards 2009.  Dalam ajang Festival Film Bandung (FFB) 2009 ke-22 yang berlangsung di Hotel Horison, Bandung, film ini berhasil membawa pulang 6 dari 11 penghargaan. Enam penghargaan tersebut adalah kategori sutradara terpuji atas nama Riri Riza, penata musik terpuji yaitu Aksan dan Titi Sjuman, penata artistik terpuji Eros Elfin, pemeran utama wanita terpuji Cut Mini, pemeran pembantu pria terpuji Ikranagara, dan tentu saja film terpuji.  Penghargaan tak henti-hentinya diraih film Laskar Pelangi. Setelah dinobatkan sebagai film terpuji, film ini juga menjadi best film di Indonesian Movie Awards (IMA) 2009 yang berlangsung pada tanggal 16 Mei 2009 sampai tanggal 17 Mei 2009 di stasiun televisi RCTI. Pada acara ini, Laskar Pelangi mendapat 4 penghargaan, ditambah satu penghargaan untuk soundtrack favorit, Nidji dengan lagunya yaitu Laskar Pelangi. Penghargaan pertama diraih oleh Zulfani sebagai pendatang baru pria terfavorit. Penghargaan kedua diraih oleh Ikranagara sebagai pemain film pria terbaik. Penghargaan ketiga berhasil diraih oleh Cut Mini sebagai pemain film wanita terbaik. Yang paling membanggakan adalah mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik mengalahkan film Ayat-Ayat Cinta, Perempuan berkalung Sorban, 3 doa 3 cinta, Fiksi,dan film Gara-gara Bola Menjelang akhir tahun 2009, film laris Laskar Pelangi (The Rainbow Troops) membuat catatan indah. Film ini memenangi kategori the best picture alias film terbaik pada Asia Pacific Film Festival (APFF) ke-53, 16-20 Desember lalu, di Kaoshiung, Taiwan. Film yang baru saja merilis sekuelnya, Sang Pemimpi, tersebut menuai prestasi serupa dengan Daun di Atas Bantal 12 tahun lalu. Tambahan pula, Cut Mini mendapatkan predikat ”aktris terbaik” pada Festival Film Independen Internasional di Brussel, Belgia, tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar